Senin, 23 September 2013

cerita remaja




Senyuman di Atas Kilauan
Santi Wahyu Pamungkas


Sherlly terdiam. Matanya tidak berani menatap wajah tampan yang sejak tadi berada di hadapannya. Dia memang sulit mengontrol jantungnya jika sedang berhadapan dengan lelaki tampan seperti kekasihnya itu. Martin yang sejak tadi menatap pekat wajah gadis yang berada di depannya itu tidak juga kunjung memulai kata-katanya. Seperti ada sejuta kalimat yang akan ia tumpahkan kepada Sherlly. Namun sampai gadis yang berada di hadapannya itu menghabiskan minumannya, ia tidak juga memulai kalimat pertamanya.
“kenapa kita seperti orang bisu saja? Sejak tadi tidak ada yang memulai pembicaraan,” kata Sherlly memecahkan keheningan itu.
“oh, em. Ngga, rasanya kehilangan kata-kata kalau didepan gadis cantik.” Ungkap Martin menutupi keraguannya.
“bercanda! Ada apa semalam telfon aku, katanya mau bilang sesuatu. Apa?” tanya Sherlly yang sambil menyembunyikan rasa groginya.
Martin tertunduk. Berat rasanya kata-kata yang akan keluar dari bibirnya itu. ia mencoba merangakai satu demi satu huruf agar bisa menjadi sebuah kata, dan merangkai kata-kata itu supaya menjadi sebuah kalimat yang tidak akan berbelit-belit. Tapi usahanya muncul dan tenggelam. Semua yang sudah ia rancang semalaman rasanya luntur dengan sekejap mata.
“Martin?” panggil Sherlly kemudian.
“oh, iya. Aku benar-benar seperti orang gila.”
“so, what will you say?”
“entahlah. Aku ngga tau mau mulai dari mana.”
“ngga usah nyebelin lah. Bicara aja, toh aku dengerin kok.” Kata Sherlly meyakinkan.
Martin mengambil nafas dalam-dalam kemudian dengan pelan ia keluarkan. Tangannya menjadi dingin seketika. Matanya tak terarah. Sesekali pandangannya tertuju pada kekasihnya, namun berkali-kali pula matanya menatap benda yang tak tahu dimana letaknya.
“aku mau break,” ucapnya pelan.
“break? Apa maksud kamu?” tanya Sherlly yang mulai menampakkan rasa takutnya.
“kita sampai di sini aja. Aku ngga bisa terlalu jauh menjalani hubungan ini.”
“Martin, please jangan bercanda!”
“aku serius! Dan ini sudah aku pikirkan matang-matang.”
“semudah itu? apa alasan kamu?” tanya Sherlly yang raut wajahnya mulai memerah.
“aku mau pulang ke kalimantan. Bapak sama Ibu minta aku untuk menemani mereka. Karena kamu tahu, kakakku sudah menikah dan sekarang dia tinggal di luar negri. Jadi aku yang diminta untuk menemani mereka.”
“isn’t reasonable!”
“ya, bukan itu sebenarnya yang menjadi alasan buat aku untuk break sama kamu, tapi ada yang lebih dari itu. kamu tahu aku, aku bukan tipe laki-laki yang mudah percaya. Aku sulit untuk percaya sama orang lain. Dan aku ngga mau kalau seandainya kita tetap menjalani ini dengan jarak jauh. Aku sayang kamu, tapi..”
“jadi selama ini kamu ngga menaruh kepercayaan sama aku? Sampai-sampai hal segitu aja kamu minta break?” potong Sherlly.
“aku percaya kamu, kalau kamu ada di samping aku.”
“selain itu?”
“aku sering cemburu. Aku ngga tahu apa yang kamu lakuin sama teman-teman kamu di luar, aku sering berpikir kalau aku emang masih anak-anak.”
Sherlly menunduk. Ia menahan air matanya. Ia mencoba menahan setiap guliran air mata yang akan turun.
“aku sayang kamu kalau kamu mau siap untuk jadi istri aku sekarang.”
“ngga, Martin. Kuliahku belum selesai. aku ngga apa-apa di sini. Kalau kamu mau balik ke kalimantan ngga apa-apa. Semoga kamu dapat jodoh yang akan selalu ada di samping kamu selalu. Bukan seperti kita yang sekarang, walaupun dekat tapi terasa long distance.”
“aku minta maaf.”
******
“mungkin seperti itu cerita persisnya. Hanya itu yang aku ingat.” Kata Sherlly mengakhiri ceritanya.
“berapa kali dia datang ke rumah kamu untuk meminang kamu?”
“entahlah, Roy. Mungkin berkali-kali sampai aku tidak sempat menghitungnya. Dia dan keluarganya terlalu berambisi untuk mendapatkan aku. Tapi aku sama sekali ngga tahu akan hal itu. sampai sekarang,”
“dia sering telfon kamu, memberi kabar?”
“sama sekali ngga.” Ucap Sherlly pelan.
“cowok memang beda-beda, Sher. Ada yang baik dari luar aja, tapi ada yang baik luar dalam. Udahlah, masa lalu. Sekarang biar kamu ngga suntuk lagi, gimana kalau nanti kita jalan-jalan keliling kota. Mau ngga?”
“berdua?”
“beramai-ramai juga ngga apa-apa, malah asyik.”
“em... okay.”
“boleh aku jemput nanti?”
Sherlly tertawa kecil. “boleh.”
Setelah bercakap-cakap lebih lama, keduanya segera berhamburan.
Hari semakin berlalu. Begitu jauh perjalanan hidup Sherlly. Setelah mempunyai kehidupan yang mapan, ia semakin berambisi untuk terus melanjutkan karirnya, bahkan ia hampir melupakan semua kisah cinta pertamanya dengan seorang lelaki bernama Martin. Sekarang ia mendapatkan arti hidup yang lebih bermakna. Apalagi sejak kedekatannya dengan Roy, teman kerjanya yang selalu memberikan dukungan kepadanya. Ia semakin penuh dengan semangat. Ia berharap Roy yang ia kenal akan segera mengungkapkan isi hatinya bahwa laki-laki itu menyukai dirinya. Namun sudah hampir dua tahun mereka saling mengenal, seakan belum ada tanda-tanda bahwa Roy akan mengungkapkan perasaannya itu. Sherlly sabar menanti datangnya cinta kedua setelah kegagalannya dengan Martin. Ia tidak ingin terpuruk terlalu dalam dengan kisah cinta pertamanya dahulu.
Sherlly hanya berharap, suatu saat nanti akan ada seorang lelaki yang datang untuk melamarnya seperti ketika ia berpacaran dengan Martin. Usianya sudah menginjak 27 tahun. Mungkin saja ia memang belum seberuntung gadis-gadis pada umumnya.
Hari minggu yang sangat cerah. Sherlly ada janji dengan Roy untuk pergi ke pantai berdua. Ia mempersiapkan diri. Ia harus tampil cantik setiap saat, seperti ketika ia sedang bekerja di kantor. Dengan make up yang serba tipis, ia mengenakan baju warna kuning kesukaannya. Beberapa saat setelah menunggu kedatangan Roy, ia mulai merasa gelisah. Mungkin saja Roy tidak jadi mengajaknya pergi ke pantai. Mungkin ia sedang sibuk dengan bisnis barunya karena sudah beberapa hari ia absen masuk kantor atau lupa kalau ia memiliki janji dengannya sehingga ia pergi bersama teman-temannya. Cukup lama Sherlly menunggu. Ingin rasanya ia menelfon Roy, tapi ia tidak berani. Jemarinya mencoba bernari di atas keypad handphon, tapi setiap kata yang ditulisnya seakan tidak pas sehingga ia memutuskan untuk tidak menanyakan apapun kepada Roy tentang keberadaannya.
Sherlly kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia bergegas menghapus make up yang menempel di wajahnya. Namun sebelum tangannya berhasil mengusap make up itu, handphonnya berdering. Rupanya Roy. Dengan  wajah merona, diangkatnya panggilan itu.
“Sherlly,”
“ya, ada apa, Roy?”
“kamu di rumah?”
Sherlly tertegun. Oh, rupanya Roy lupa akan janjinya. Dengan canggung ia menjawab.
“ada. Kenapa?”
“nanti kalau Boby jemput kamu, ikut dia ya. Aku ngga bisa jemput?”
“emang ada apa? Kok ngga biasanya Boby yang jemput aku?”
“nanti kamu tahu, sekarang siap-siap dulu. Dandan yang cantik, ya!” pinta Roy.
“emmmm.... okay.”
Sherlly mencoba menebak. Ada apa? Apa Roy akan memberika surprize kepadanya? Atau lelaki itu akan menyatakan cinta kepadanya? Sherlly hanya berharap hal baik akan datang kepadanya. Semoga saja mimpinya untuk bisa mendapatkan lelaki yang ia cintai itu akan menjadi nyata.
Beberapa menit berlalu. Boby sudah berada di teras rumah Sherlly. Keduanya berangkat. Di dalam mobil Sherlly mencoba menanyakan tentang acara yang akan dikunjunginya itu.
“kok, aku ngerasa hari ini ada yang beda. Ada acara apa emangnya?”
“belum tahu?”
“belum!”
“kasihan. Ada yang mau tunangan mendadak. Makanya undangannya cuma mendadak begini.”
“siapa yang tunangan?” tanya Sherlly penasaran.
“Roy.”
“sama siapa?”
“aku juga kurang tahu. Sama kamu kali,” goda Boby.
“ngga ngaco deh!”
Di rumah Roy tampak begitu berbeda. Wajah-wajah tampak berseri. Boby menggandeng tangan Sherlly. Keduanya memasuki halaman rumah yang tampak begitu jauh berbeda dengan hari-hari biasanya. Boby memilihkan tempat duduk yang nyaman. Di sana mereka bergabung dengan teman-teman mereka yang lain.
Beberapa saat kemudian acara dimulai. Sherlly mulai merasa tidak enak. Benarkah Roy tunangan? Dengan siapa? Bukankah dirinya berada diantara para tamu yang hadir. Jika benar Roy yang tunangan, tentu itu akan menjadi hal yang terburuk dan paling buruk di hidup Sherlly. Semoga saja tidak.
Setelah sekian menit menunggu, ternyata benar dugaan Sherlly. Roy yang tunangan. Gadis cantik yang berada di sisinya adalah Mei, teman kerjanya sendiri. Hatinya benar-benar sakit. Selama ini perhatian yang Roy tunjukan itu bermakna apa? Kasih sayang yang selalu ia dapatkan dari lelaki itu tidak berarti sama sekali. Astaga, ini adalah kegagalan yang kedua bagi Sherlly. Setelah kandas menjalani hubungan dengan Martin, kini harapannya untuk dapat memiliki Roy pun ternyata hanya sebuah mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Ia ingin berteriak, betapa tidak adilnya Tuhan terhadap dirinya. Bukankah selama ini Ia yang paling diperhatikan Roy, bukan Mei? Bukankah Ia juga yang sering memberikan waktunya untuk Roy ketika Roy merasa jenuh berada di rumah? Semuanya terasa tidak adil. Tanpa disadarinya, Ia menitikkan air mata. Hatinya tercambuk-cambuk. Kakinya bergetar hebat. Mulutnya menggiggil menahan gejolak di dalam hatinya. Ia telah jatuh terlalu dalam. Ia jatuh di tempat yang salah.
Roy seakan bungkam tentang kisah asmaranya dengan Mei. Begitupun Mei. Mereka menjalani semuanya selayaknya hanya rekan kerja biasa dan tidak terlihat lebih dari sekedar teman. Itulah yang membuat Sherlly merasa kesal. Roy telah menanamkan sebongkah harapan yang terlalu tinggi. Harapan untuk bisa memilikinya seutuhnya. Tapi sekarang, Sherlly merasa dirinya bodoh. Mungkin benar jika Martin meninggalkannya. Ia memang belum terlalu dewasa untuk mengenal arti cinta.
Berkali-kali air mata Sherlly terurai. Ia membiarkan butiran-butiran cantik itu jatuh dengan sia-sia. Ia hanya berharap satu hal, dia akan menghilang dari tempat itu dan tidak akan pernah kembali berada dihadapan Roy lagi. Kakinya pelan-pelan bergerak, sebelum langkah pertama, sebuah tangan meraih jemarinya dan mengusap air matanya. Laki-laki mana lagi yang akan menjebaknya. Sherlly mengongakkan kepalanya. Sebuah senyuman yang teramat ia kenal. Itu bibir laki-laki yang pernah ia kenal. Bibir yang penuh dengan tanda tanya yang selalu menimbulkan kerinduan dan kekesalan. Sherlly terpaku, benarkah lelaki yang berhadapan dengannya itu Martin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar