Desa Kedungpoh yang
memiliki luas wilayah 10.799.830 Ha, terdiri dari 10 padukuhan unsur
kewilayahan dengan jumlah penduduk 5.796 jiwa dan 1.370 KK sebagian besar yang
secara geografis terletak pada lahan kemiringan/pegunungan, bukit dan sebagian
dari wilayah dataran rendah.
Awal mula keberadaan Desa
Kedungpoh ada masukan/informasi dari pelaku sejarah/tetua desa Kedungpoh bahwa
Desa Kedungpoh mempunyai tiga (3) jenis informasi mengenai sejarah Kedungpoh,
yaitu:
2. sejarah mulo buko nama desa
3. sejarah mulo buko adeking Pemerintah Desa Kedungpoh
Ketiga-tiganya menjadi
dasar dalam penggalian sejarah berdirinya Desa Kedungpoh, namun yang paling
kuat dan disepakati adalah sejarah mulo buko adeging Pemerintahan Desa
Kedungpoh, karena sejarah tersebut membuktikan bahwa Kedungpoh diakui sebagai
Desa yang mempunyai otonom.
Adapun informasi dari Tokoh
tetua Desa sebagai berikut:
1. sejarah mulo buko masyarakat yang ada di Desa Kedungpoh
Awalnya
tidak ada yang tahu tentang keberadaan masyarakat Kedungpoh namun dengan
keberadaan peninggalan petilasan yang ada di Kedungpoh secara otomatis
membuktikan bahwa sebelum terbentuknya Desa Kedungpoh sudah ada komunitas
masyarakat yang hidup pada waktu itu. Terbukti dengan adanya peninggalan
(petilasan pesarehan kwasen).
Namun
ada cerita lagi bahwa ketika terjadi huru-hara di Keraton Surakarta ada
sekelompok masyarakat wilayah Tembayat (sekarang Bayat) yang datang ke wolauah
Kedungpoh yang dipimpin oleh Kyai Ahmad Dalem dan menetap di suatu wilayah yang
sekarang namanya padukuhan Kedungpoh Kidul. Pada waktu itu Kyai Ahmad Dalem
berprofesi sebagai Empu (pembuat pusaka). Bekas dari tempat tersebut berada di
RT 02/01 Kedungpoh Kidul. Ahmad Dalem mempunyai putra yang bernama Jumput alias
Ahmad Rifa’i. Sedangkan Ahmad Rifa’i mempunyai teman seperjuangan yang bermana
Ahmad Kiramu yang merupakan seorang pelarian karena menentang pemerintahan
kolonial Hindia Belanda dari wilayah Gunungkidul bagian selatan. Ahmad Kiramu
inilah yang sering disebut masyarakat sekarang sebagai penyebar agama islam di
Kedungpoh pada khususnya dan wilayah Kecamatan Nglipar pada umumnya.
Air merupakan sember kehidupan masyarakat. Cara
memperoleh air pada waktu itu dengan cara alami dan tradisional. Belum ada
sumur apalagi ada Pam seperti sekarang ini. Masyarakat hanya memanfaatkan
sumber mata air yang ada. Salah satunya adalah genangan air (kedung) yang
terletak di Kedungpoh Kidul. Di samping Kedung tersebut ada sebuah pohon Poh
(Pelem). Dari pola kehidupan waktu itu, masyarakat sering menyebut daerah
tersebut dengan sebutan Kedungpoh. Karena banyaknya warga yang memanfaatkan air
tersebut, lambat laun nama Kedungpoh menjadi nama Desa Kedungpoh hingga saat
ini.
Desa Kedungpoh merupakan bagian dari Kabupaten
Gunungkidul, secara otonomi adalah Desa yang berpemerintahan sejak tahun 1911.
Wilayah Kedungpoh merupakan bagian dari Kademangan Kedungkeris (menurut
cerita/kesaksian para sesepuh Desa). Pada masa kolonial Hindia Belanda,
kerajaan Mataram Ngayogyakarta
Hadiningrat mempunyai bagian wilayah yaitu Katumenggungan Gunungkidul.
Katumenggungan Gunungkidul kemudian membentuk Desa-desa yang salah satunya
adalah Desa Kedungpoh. Hal ini diperkuat oleh para pelaku sejarah bahwa
Beslit/SK/Serat Kekancingan Lurah yang pertama pada tahun tersebut (1911) yakni
Eyang Lurah Karto Rejo yang merupakan pemimpin pertama Desa Kedungpoh.
Cerita tersebut menjadi bahan kajian oleh
masyarakat, tokoh, dan Pemerintahan Desa dalam menggali sejarah berdirinya
(adeking) Desa Kedungpoh.
Masyarakat Desa Kedungpoh sudah ada sebelum adanya
Beslit/SK/Serat Kekancingan Lurah, terbukti dengan sejarah berupa
petilasan-petilasan dan nama kampung yang ada di Desa Kedungpoh, seperti
petilasan: Pasareyan Kwasen, Kampung Tambran, Kampung Nanasan, Kampung Dawung,
Alas Parangan, Kampung Ringin Putih, Kampung
Penthuk, Alas Cering, Sungai Kedung Gender, Grumung Gojo, dan sebagainya.
Sehingga ada pertimbangan dari beberapa tokoh
bahwa Desa Kedungpoh ada sejak adanya pemerintahan Desa pada tahun 1911.
Sumber (pembuktian) tentang pemerintahan Desa
Kedungpoh pada tahun 1911 belum bisa menemukan secara Deyure keberadaan SK
tersebut, tetapi secara Defacto telah banyak kesaksian. Dan pembenaran dari
tokoh tetua Desa Kedungpoh, yang secara formal Pemerintah Desa Kedungpoh telah
menggali sejarah secara langsung dengan melalui investigasi dalam agenda forum
penggalian sejarah Desa Kedungpoh pada Januari 2008. Tokoh-tokoh yang jadir
sebagai Nara Sumber dalam agenda tersebut, antara lain: Pawiro Wigno (mantan
Dukuh Kedungpoh Lor), Slamet Purwo Diwarno (mantan Dukuh Nglorog), Sukino
(mantan Dukuh), Noto Wiyono (mantan Dukuh), Ngatmo Nado (tokoh tetua desa),
Muhadi (mantan abdi Lurah Karto Rejo), Ibu Samirah(istri mantan pamong desa),
Doto (tokoh desa). Kegiatan ini difasilitasi dan inisiatif dari pemerintah Desa
Kedungpoh pada waktu itu dipimpin oleh Edi Susilo sebagai Kepala Desa, dibantu
oleh Joko Santoso sebagai sekretaris desa, dan Mugiharto sebagai Ekobang Desa
Kedungpoh yang berperan sebagai notulis dalam forum tersebut.
Tulisannya bagus menambah wawasan saya sebagai salah satu ketururunan dari Gunung Kidul
BalasHapus