Senyuman di Atas Kilauan
Santi Wahyu Pamungkas
Sherlly
terdiam. Matanya tidak berani menatap wajah tampan yang sejak tadi berada di
hadapannya. Dia memang sulit mengontrol jantungnya jika sedang berhadapan
dengan lelaki tampan seperti kekasihnya itu. Martin yang sejak tadi menatap
pekat wajah gadis yang berada di depannya itu tidak juga kunjung memulai
kata-katanya. Seperti ada sejuta kalimat yang akan ia tumpahkan kepada Sherlly.
Namun sampai gadis yang berada di hadapannya itu menghabiskan minumannya, ia tidak
juga memulai kalimat pertamanya.
“kenapa
kita seperti orang bisu saja? Sejak tadi tidak ada yang memulai pembicaraan,”
kata Sherlly memecahkan keheningan itu.
“oh,
em. Ngga, rasanya kehilangan kata-kata kalau didepan gadis cantik.” Ungkap Martin
menutupi keraguannya.
“bercanda!
Ada apa semalam telfon aku, katanya mau bilang sesuatu. Apa?” tanya Sherlly
yang sambil menyembunyikan rasa groginya.
Martin
tertunduk. Berat rasanya kata-kata yang akan keluar dari bibirnya itu. ia
mencoba merangakai satu demi satu huruf agar bisa menjadi sebuah kata, dan
merangkai kata-kata itu supaya menjadi sebuah kalimat yang tidak akan
berbelit-belit. Tapi usahanya muncul dan tenggelam. Semua yang sudah ia rancang
semalaman rasanya luntur dengan sekejap mata.
“Martin?”
panggil Sherlly kemudian.
“oh,
iya. Aku benar-benar seperti orang gila.”
“so,
what will you say?”
“entahlah.
Aku ngga tau mau mulai dari mana.”
“ngga
usah nyebelin lah. Bicara aja, toh aku dengerin kok.” Kata Sherlly meyakinkan.
Martin
mengambil nafas dalam-dalam kemudian dengan pelan ia keluarkan. Tangannya
menjadi dingin seketika. Matanya tak terarah. Sesekali pandangannya tertuju
pada kekasihnya, namun berkali-kali pula matanya menatap benda yang tak tahu
dimana letaknya.
“aku
mau break,” ucapnya pelan.
“break?
Apa maksud kamu?” tanya Sherlly yang mulai menampakkan rasa takutnya.
“kita
sampai di sini aja. Aku ngga bisa terlalu jauh menjalani hubungan ini.”
“Martin,
please jangan bercanda!”
“aku
serius! Dan ini sudah aku pikirkan matang-matang.”
“semudah
itu? apa alasan kamu?” tanya Sherlly yang raut wajahnya mulai memerah.
“aku
mau pulang ke kalimantan. Bapak sama Ibu minta aku untuk menemani mereka.
Karena kamu tahu, kakakku sudah menikah dan sekarang dia tinggal di luar negri.
Jadi aku yang diminta untuk menemani mereka.”
“isn’t
reasonable!”
“ya,
bukan itu sebenarnya yang menjadi alasan buat aku untuk break sama kamu, tapi
ada yang lebih dari itu. kamu tahu aku, aku bukan tipe laki-laki yang mudah
percaya. Aku sulit untuk percaya sama orang lain. Dan aku ngga mau kalau
seandainya kita tetap menjalani ini dengan jarak jauh. Aku sayang kamu, tapi..”
“jadi
selama ini kamu ngga menaruh kepercayaan sama aku? Sampai-sampai hal segitu aja
kamu minta break?” potong Sherlly.
“aku
percaya kamu, kalau kamu ada di samping aku.”
“selain
itu?”
“aku
sering cemburu. Aku ngga tahu apa yang kamu lakuin sama teman-teman kamu di
luar, aku sering berpikir kalau aku emang masih anak-anak.”
Sherlly
menunduk. Ia menahan air matanya. Ia mencoba menahan setiap guliran air mata
yang akan turun.
“aku
sayang kamu kalau kamu mau siap untuk jadi istri aku sekarang.”
“ngga,
Martin. Kuliahku belum selesai. aku ngga apa-apa di sini. Kalau kamu mau balik
ke kalimantan ngga apa-apa. Semoga kamu dapat jodoh yang akan selalu ada di
samping kamu selalu. Bukan seperti kita yang sekarang, walaupun dekat tapi
terasa long distance.”
“aku
minta maaf.”
******
“mungkin
seperti itu cerita persisnya. Hanya itu yang aku ingat.” Kata Sherlly
mengakhiri ceritanya.
“berapa
kali dia datang ke rumah kamu untuk meminang kamu?”
“entahlah,
Roy. Mungkin berkali-kali sampai aku tidak sempat menghitungnya. Dia dan
keluarganya terlalu berambisi untuk mendapatkan aku. Tapi aku sama sekali ngga
tahu akan hal itu. sampai sekarang,”
“dia
sering telfon kamu, memberi kabar?”
“sama
sekali ngga.” Ucap Sherlly pelan.
“cowok
memang beda-beda, Sher. Ada yang baik dari luar aja, tapi ada yang baik luar
dalam. Udahlah, masa lalu. Sekarang biar kamu ngga suntuk lagi, gimana kalau
nanti kita jalan-jalan keliling kota. Mau ngga?”
“berdua?”
“beramai-ramai
juga ngga apa-apa, malah asyik.”
“em...
okay.”
“boleh
aku jemput nanti?”
Sherlly
tertawa kecil. “boleh.”
Setelah
bercakap-cakap lebih lama, keduanya segera berhamburan.
Hari
semakin berlalu. Begitu jauh perjalanan hidup Sherlly. Setelah mempunyai kehidupan
yang mapan, ia semakin berambisi untuk terus melanjutkan karirnya, bahkan ia
hampir melupakan semua kisah cinta pertamanya dengan seorang lelaki bernama Martin.
Sekarang ia mendapatkan arti hidup yang lebih bermakna. Apalagi sejak
kedekatannya dengan Roy, teman kerjanya yang selalu memberikan dukungan
kepadanya. Ia semakin penuh dengan semangat. Ia berharap Roy yang ia kenal akan
segera mengungkapkan isi hatinya bahwa laki-laki itu menyukai dirinya. Namun
sudah hampir dua tahun mereka saling mengenal, seakan belum ada tanda-tanda
bahwa Roy akan mengungkapkan perasaannya itu. Sherlly sabar menanti datangnya
cinta kedua setelah kegagalannya dengan Martin. Ia tidak ingin terpuruk terlalu
dalam dengan kisah cinta pertamanya dahulu.
Sherlly
hanya berharap, suatu saat nanti akan ada seorang lelaki yang datang untuk
melamarnya seperti ketika ia berpacaran dengan Martin. Usianya sudah menginjak
27 tahun. Mungkin saja ia memang belum seberuntung gadis-gadis pada umumnya.
Hari
minggu yang sangat cerah. Sherlly ada janji dengan Roy untuk pergi ke pantai
berdua. Ia mempersiapkan diri. Ia harus tampil cantik setiap saat, seperti
ketika ia sedang bekerja di kantor. Dengan make up yang serba tipis, ia
mengenakan baju warna kuning kesukaannya. Beberapa saat setelah menunggu
kedatangan Roy, ia mulai merasa gelisah. Mungkin saja Roy tidak jadi
mengajaknya pergi ke pantai. Mungkin ia sedang sibuk dengan bisnis barunya
karena sudah beberapa hari ia absen masuk kantor atau lupa kalau ia memiliki
janji dengannya sehingga ia pergi bersama teman-temannya. Cukup lama Sherlly
menunggu. Ingin rasanya ia menelfon Roy, tapi ia tidak berani. Jemarinya mencoba
bernari di atas keypad handphon, tapi setiap kata yang ditulisnya seakan tidak
pas sehingga ia memutuskan untuk tidak menanyakan apapun kepada Roy tentang
keberadaannya.
Sherlly
kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia bergegas menghapus make up yang menempel di
wajahnya. Namun sebelum tangannya berhasil mengusap make up itu, handphonnya
berdering. Rupanya Roy. Dengan wajah
merona, diangkatnya panggilan itu.
“Sherlly,”
“ya,
ada apa, Roy?”
“kamu
di rumah?”
Sherlly
tertegun. Oh, rupanya Roy lupa akan janjinya. Dengan canggung ia menjawab.
“ada.
Kenapa?”
“nanti
kalau Boby jemput kamu, ikut dia ya. Aku ngga bisa jemput?”
“emang
ada apa? Kok ngga biasanya Boby yang jemput aku?”
“nanti
kamu tahu, sekarang siap-siap dulu. Dandan yang cantik, ya!” pinta Roy.
“emmmm....
okay.”
Sherlly
mencoba menebak. Ada apa? Apa Roy akan memberika surprize kepadanya? Atau
lelaki itu akan menyatakan cinta kepadanya? Sherlly hanya berharap hal baik
akan datang kepadanya. Semoga saja mimpinya untuk bisa mendapatkan lelaki yang
ia cintai itu akan menjadi nyata.
Beberapa
menit berlalu. Boby sudah berada di teras rumah Sherlly. Keduanya berangkat. Di
dalam mobil Sherlly mencoba menanyakan tentang acara yang akan dikunjunginya
itu.
“kok,
aku ngerasa hari ini ada yang beda. Ada acara apa emangnya?”
“belum
tahu?”
“belum!”
“kasihan.
Ada yang mau tunangan mendadak. Makanya undangannya cuma mendadak begini.”
“siapa
yang tunangan?” tanya Sherlly penasaran.
“Roy.”
“sama
siapa?”
“aku
juga kurang tahu. Sama kamu kali,” goda Boby.
“ngga
ngaco deh!”
Di
rumah Roy tampak begitu berbeda. Wajah-wajah tampak berseri. Boby menggandeng
tangan Sherlly. Keduanya memasuki halaman rumah yang tampak begitu jauh berbeda
dengan hari-hari biasanya. Boby memilihkan tempat duduk yang nyaman. Di sana
mereka bergabung dengan teman-teman mereka yang lain.
Beberapa
saat kemudian acara dimulai. Sherlly mulai merasa tidak enak. Benarkah Roy tunangan?
Dengan siapa? Bukankah dirinya berada diantara para tamu yang hadir. Jika benar
Roy yang tunangan, tentu itu akan menjadi hal yang terburuk dan paling buruk di
hidup Sherlly. Semoga saja tidak.
Setelah
sekian menit menunggu, ternyata benar dugaan Sherlly. Roy yang tunangan. Gadis
cantik yang berada di sisinya adalah Mei, teman kerjanya sendiri. Hatinya
benar-benar sakit. Selama ini perhatian yang Roy tunjukan itu bermakna apa?
Kasih sayang yang selalu ia dapatkan dari lelaki itu tidak berarti sama sekali.
Astaga, ini adalah kegagalan yang kedua bagi Sherlly. Setelah kandas menjalani
hubungan dengan Martin, kini harapannya untuk dapat memiliki Roy pun ternyata
hanya sebuah mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Ia ingin
berteriak, betapa tidak adilnya Tuhan terhadap dirinya. Bukankah selama ini Ia
yang paling diperhatikan Roy, bukan Mei? Bukankah Ia juga yang sering
memberikan waktunya untuk Roy ketika Roy merasa jenuh berada di rumah? Semuanya
terasa tidak adil. Tanpa disadarinya, Ia menitikkan air mata. Hatinya
tercambuk-cambuk. Kakinya bergetar hebat. Mulutnya menggiggil menahan gejolak
di dalam hatinya. Ia telah jatuh terlalu dalam. Ia jatuh di tempat yang salah.
Roy
seakan bungkam tentang kisah asmaranya dengan Mei. Begitupun Mei. Mereka menjalani
semuanya selayaknya hanya rekan kerja biasa dan tidak terlihat lebih dari
sekedar teman. Itulah yang membuat Sherlly merasa kesal. Roy telah menanamkan
sebongkah harapan yang terlalu tinggi. Harapan untuk bisa memilikinya
seutuhnya. Tapi sekarang, Sherlly merasa dirinya bodoh. Mungkin benar jika Martin
meninggalkannya. Ia memang belum terlalu dewasa untuk mengenal arti cinta.
Berkali-kali
air mata Sherlly terurai. Ia membiarkan butiran-butiran cantik itu jatuh dengan
sia-sia. Ia hanya berharap satu hal, dia akan menghilang dari tempat itu dan
tidak akan pernah kembali berada dihadapan Roy lagi. Kakinya pelan-pelan
bergerak, sebelum langkah pertama, sebuah tangan meraih jemarinya dan mengusap
air matanya. Laki-laki mana lagi yang akan menjebaknya. Sherlly mengongakkan
kepalanya. Sebuah senyuman yang teramat ia kenal. Itu bibir laki-laki yang
pernah ia kenal. Bibir yang penuh dengan tanda tanya yang selalu menimbulkan
kerinduan dan kekesalan. Sherlly terpaku, benarkah lelaki yang berhadapan
dengannya itu Martin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar