Sekeping
Harapan di Senja Kala
Santi Wahyu Pamungkas
Semua berawal dari sebuah kebiasaan. Semua
berjalan tanpa kusadari. Mungkin itu sebuah perasaan yang tidak tiba-tiba
muncul dari dalam hatiku. Gemuruh yang bergejolak, membuatku tidak sadarkan
diri. Semua yang jauh pun terasa dekat. Semua seperti mimpi buruk yang hanya ku
alami sendiri. Dia adalah laki-laki pertama yang kukenal. Dia mengajarkan
berbagai hal untuk hidupku. Benih-benih asmara itu muncul kemudian berujung
pada ketidak pastian. Mungkin itu perasan yang muncul dan tenggelam. Hanya
Tuhan dan aku yang menyadari segala gejolak ini. Biarkan semua itu mengembara
dan berlarian terus menerus di dalam hatiku.
Semua terjadi ketika aku duduk dibangku
SMA. Dia adalah seseorang yang kukenal. Dia muncul di permukaan ceritaku. Dia
mengenalkan aku tentang lima huruf yang saat itu tidak kuketahui maksudnya,
yaitu “cinta”. Kami menuai segala kisah yang begitu sulit untuk dimengerti.
Selayaknya remaja yang lain, aku merasakan sebuah getaran yang aneh yang datang
dan terus menari-nari di balik gemuruh jiwaku. Mungkin ini seperti cinta yang
sama sekali tidak bermakna. Aku merasakan bahwa diriku teramat tergoda dengan
senyuman manisnya yang sering dia lontarkan kepadaku. Aku tidak perah menyangka
jika semua itu akan terjadi. Hanya sebuah senyum kemudian menumbuhkan sejuta
pertanyaan. Dia datang tanpa kuduga. Lelaki yang sungguh sulit kumengerti.
Aku terus berusaha mencari tahu semua
tentangnya. Dengan berbagai cara. Tapi seakan semua itu terjadi tanpa kusadari.
Aku seperti bersolek di depan sebuah kaca yang pecah. Seperti sebuah masa depan
tiada pernah kutahu alurnya. Ketika semua berlalu bagaikan angin senja, ku
sadari ini adalah sebuah perasaan yang tumbuh dari dalam sanubariku sendiri.
Tanpa pernah terbalaskan. Aku menyendiri. Mengenali diriku sendiri saja aku
belum bisa, tapi sekarang aku mencoba memberanikan diri untuk sedikit
mengenalnya.
Hari-hari ku lalui. Sebuah tantangan baru
dalam hidupku. Mengenalnya dan mencintainya. Tapi saat itu aku menyadari bahwa
aku sama sekali belum dewasa. Usiaku baru menginjak 17 tahun. Dan itu merupakan
usia belia bagiku. Aku tidak ingin jatuh cinta pada orang yang salah. Apalagi
untuk pertama kalinya. Mungkin itu adalah sebuah pertimbangan besar bagiku
untuk mencoba berhenti mengharapkannya. Setelah ku tepiskan harapanku untuk
dapat mengenalnya lebih jauh, tiba-tiba Tuhan memunculkan dia kembali di
permukaan ceritaku. Aku tidak bisa terus menerus bersembunyi dibalik sebuah
getaran yang setiap saat meruntuhkan kepercayaanku. Berulangkali ku coba untuk
terus melupakan dia. Dia hanya kuanggap sebagai penyemangat belajarku. Aku
mencoba untuk tidak mengharapkan lebih dari dirinya.
Dan itu tidak seratus persen berhasil.
Walaupun sekarang aku tidak lagi bersamanya, aku tidak lagi belajar bersamanya
dalam atap yang sama, aku tetap tidak bisa melupakan segala kebaikannya.
Melupakan senyumnya yang teramat manis dan memikat. Di perguruan tinggi ini
selain aku belajar tentang berbagai ilmu pendidikan aku belajar pula tentang
diri seorang pria. Aku mencoba untuk tidak mengharapkannya lagi. Dan benar.
Tuhan memperkenalkan aku dengan seorang pria yang sangat baik kepadaku. Dia adalah
orang pertama yang berhasil singgah di dalam hatiku. Darinya pula aku belajar
tentang berbagai hal dari orang lain. Dia pula yang mengajarkan aku tentang
makna hidupku.
Semua berjalan baik-baik saja. Dia tidak
pernah mengatakan hal buruk padaku. Dia selalu berusaha menjadi yang terbaik
untuk diriku. Aku pun mencoba sekuat-kuatnya untuk tetap bersamanya, menjaga
dia dan mencintai dia. Aku terus belajar untuk melupakan orang pertama yang
pernah belajar bersamaku di tempat yang sama yang aku pernah menaruh perasaan
padanya walaupun itu tidak pernah terbalaskan sedikitpun. Dan sekarang aku
menemukan orang yang semoga saja sama dengan dirinya walaupun dari wajah yang
berbeda.
Waktu terus berjalan, hubungan kami mulus
tanpa ada berbagai hal yang merintangi hubungan ini. Orang tua dan sanak family
pun setuju dengan hubungan ini. Aku mengerti bahwa ujung dari perjalanan ini
adalah tidak akan berhenti di sebuah pelaminan saja. Tapi berjalan terus sampai
kami tua dan meninggal. Itu harapan terbesar kami berdua. Namun waktu tidak
bisa kami ramalkan. Semua dapat berubah dan hilang begitu saja. Karang yang
kokohpun bisa terkikis jika terus menerus terhempas ombak. Mungkin itu tidak
jauh dengan kesetiaan.
Semua kembali terjadi ketika sebuah pameran
menyuguhkan berbagai atraksinya yang sedang kami nikmati bersama teman-teman
kami. Pameran benda kuno atau apalah, aku tidak begitu mengerti. Aku hanya
menikmati hidangan yang disuguhkan di sana dengan harga yang pas untuk kantong
seorang mahasiswa. Di sana, aku menemukan benda yang unik. Benda yang dapat
berbicara dan memberikan hiburan yang sangat berkesan untukku. Ku pahami
betul-betul wajahnya. Seorang lelaki yang pandai melawak. Pikiranku melayang
kembali. Aku seperti menemukan sebuah arca yang benar-benar hidup. Dan dia
mampu menghibur ratusaan orang yang berada di ruangan itu. Aku diam saja. Ku
nikmati pentas itu. walaupun aku sedikit bingung, itu acara pameran apa?
Ketika kami sedang menikmati santapan kami,
sepasang mata tajam menatap kearah kami. Sepasang mata itu benar-benar ku
kenal. Tapi aku tidak berani untuk menyapa ataupun memamerkan senyumku padanya.
Aku takut dugaanku salah.
Dan ketika kami bersiap-siap untuk pulang,
sepasang mata tadi terus menerus menatapku. Dia seakan mencoba mengigat wajahku
yang mungkin pernah ia kenal. Aku mencoba untuk memberanikan diri mendekati
orang itu, tapi sebuah tangan meraih jemariku dan mengajakku keluar untuk
pulang. Aku bersama teman-temanku berjalan pulang. Namun, sebelum kakiku
melangkah keluar dari pintu, ada sebuah perasaan timbul yang membuatku
memberanikan diri untuk menolak tarikan di tanganku. Aku mendekati orang itu.
Dia menyuguhkan senyum yang benar-benar anggun. Oh, Tuhan. Itu senyum yang
hilang beberapa waktu lalu yang pernah ku kagumi. Tanganku dingin bukan main.
Bibirku pun bergetar menyapanya. Rupanya dia tidak lupa siapa aku. Dia menjabat
tanganku. Aku membalasnya. Kami terbawa dalam sebuah pembicaraan yang entahlah,
tiba-tiba aku seakan kembali ke masa ketika aku masih duduk di bangku SMA.
Kami tidak jadi pulang. Kami asyik
mengobrol dengan pria yang ku dambakan dulu. Dan semua berubah ketika ku lihat
raut wajah pria yang sekarang telah bersamaku. Aku agak sedikit canggung,
terlebih aku berada di antara dua pria yang aku cintai dan mencintaiku. Tapi
aku menepis jauh-jauh angan untuk mencintai pria yang sejak SMA ku kagumi itu.
Sekarang aku tidak sendiri.
Pertemuan itu berjalan singkat. Setelah
pertemuan itu, aku tidak tahu lagi kabar tentang dirinya. Kami tidak sempat
bertukar nomor telepon atau berbagai alamat yang dapat dihubungi. Dan setelah
aku selesai menamatkan sekolahku di perguruan tinggi, aku memutuskan untuk
bekerja di sebuah perusahaan di sekitar tempat tinggalku. Baru beberapa waktu
aku bekerja, menerima gaji yang kuperoleh dari kerja kerasku setiap hari,
rupanya Tuhan menuliskan dalam hidupku sesuatu yang baru. Tuhan semakin
mempererat hubunganku dengan kekasihku. Beberapa waktu lagi pertunangan kami
akan dilaksanakan.
Namun, lagi-lagi aku tidak bisa dengan
mudah menyikapi hal-hal itu. Usiaku yang baru akan menginjak 23 tahun membuatku
merasa telalu cepat masa mudaku akan hilang. Aku meminta untuk menunda
pertunangan itu hingga beberapa tahun kedepan. Aku ingin membaktikan segala
yang kupunya sekarang untuk orang tuaku dahulu. Hal itulah yang mungkin membuat
hubungan kami semakin terasa jauh. Kami tidak lagi seperti yang dulu. Mungkin
dia mulai bosan denganku yang sering tidak sependapat dengannya. Dia pun
semakin jauh dari aku. Semenjak dia tahu akan pertemuanku dengan pria yang
pernah ku dambakan waktu SMA itu, sikapnya semakin berubah. Terlebih ketika aku
meminta untuk menunda pertunangan kami. Mungkin dia curiga dengan sikapku. Aku
pun bersikap demikian. Mungkin saat itu aku merasa bosan dengannya. Dengan
seorang pria yang setiap hari menyuguhkan berbagai cerita di hari-hariku.
Dan semuanya benar-benar terjadi. Hubungan
kami yang sudah berjalan lima tahun akhirnya kandas dalam sebuah keraguan. Sedikit
demi sedikit kami saling acuh dan kemudian kami memutuskan untuk tidak
berhubungan lagi. Saat itulah aku baru merasakan semuanya. Sakit yang kedua
kalinya. Awalnya aku merasa bahwa diriku tidak lagi selemah seperti ketika
usiaku 17 tahun, tapi ternyata semua itu salah. Ketika aku kehilangan seorang
pria yang pernah mengisi hari-hariku selama lima tahun itu, hatiku merasa
semakin lemah. Akankah besok aku mendapatkan pria yang sama seperti mereka?
Sekarang aku semakin dewasa. Aku terus
memfokuskan diriku dengan pekerjaanku, dan itu benar-benar berhasil membuatku
melupakan segala tentang orang lain yang pernah kucintai. Dari pekerjaanku
sekarang, aku berhasil membaktikan apa yang kupunya untuk orang tuaku. Di satu
sisi aku sangat bangga. Tapi setelah kusadari usiaku yang kian hari kian
bertambah membuatku merasa takut. Sesuatu yang kutakutkan itu mungkin seorang
jodoh yang harusnya telah kusiapkan untuk mengisi hari-hariku nanti sampai aku
tua dan mati. Tapi sosok pria yang seperti kemarin tidak lagi pernah kudapati.
Pria yang lusa pernah bersamaku pun kini sudah tidak lagi sendiri. Dia sudah
membangun istana kebahagiaan bersama perempuan yang lain. Aku mencoba belajar
kembali. Aku hanya dapat berharap kepada Tuhan agar nanti aku diberikan jodoh
yang terbaik.
Kini usiaku telah beranjak ke angka 26
tahun. Takutku mulai mengembara. Wajahku yang dulu penuh dengan tugas-tugas
sekolah yang begitu mudah untuk ku kerjakan kini berubah menjadi wajah yang
penuh rasa takut menghadapi waktu yang terus menuntunku. Tapi Tuhan itu maha
adil. Tuhan mengerti semua yang aku pikirkan. Tuhan tidak pernah tidur ataupun
melupakan aku. Tuhan mempertemukan aku dengan seorang pria yang tidak tampan,
tidak begitu menarik bagi orang lain, tapi dia begitu istimewa untukku. Pria beralis
tebal dengan senyuman manis dibibirnya. Itulah yang telah Tuhan persiapkan
untukku. Lelaki pertama yang singgah di lubuk sanubariku yang paling dalam. Dan
dia adalah yang terakhir pula untukku. Kisahku seperti dongeng yang penuh
khayalan, tapi ini memanga benar-benar terjadi dan aku rasakan dalam diriku.
Aku tidak pernah menyangka jika semua itu akan terjadi.
Semua berawal dari rasa kagum, memuncak
menjadi rasa cinta dan kokoh menjadi kasih sayang. Itulah yang kualami dalam
hidupku. Terima kasih Tuhan telah menyatukan aku dengan dia yang pernah ku
rindukan sepanjang perjalananku ini.
♥☺₰☺♥
Tidak ada komentar:
Posting Komentar