Senin, 26 Agustus 2013

DESA KEDUNGPOH, NGLIPAR, GUNUNGKIDUL

    Desa Kedungpoh yang memiliki luas wilayah 10.799.830 Ha, terdiri dari 10 padukuhan unsur kewilayahan dengan jumlah penduduk 5.796 jiwa dan 1.370 KK sebagian besar yang secara geografis terletak pada lahan kemiringan/pegunungan, bukit dan sebagian dari wilayah dataran rendah. 
Awal mula keberadaan Desa Kedungpoh ada masukan/informasi dari pelaku sejarah/tetua desa Kedungpoh bahwa Desa Kedungpoh mempunyai tiga (3) jenis informasi mengenai sejarah Kedungpoh, yaitu:
1. sejarah mulo buko masyarakat yang ada di Desa Kedungpoh

2. sejarah mulo buko nama desa
3. sejarah mulo buko adeking Pemerintah Desa Kedungpoh
Ketiga-tiganya menjadi dasar dalam penggalian sejarah berdirinya Desa Kedungpoh, namun yang paling kuat dan disepakati adalah sejarah mulo buko adeging Pemerintahan Desa Kedungpoh, karena sejarah tersebut membuktikan bahwa Kedungpoh diakui sebagai Desa yang mempunyai otonom.
Adapun informasi dari Tokoh tetua Desa sebagai berikut:
1. sejarah mulo buko masyarakat yang ada di Desa Kedungpoh
Awalnya tidak ada yang tahu tentang keberadaan masyarakat Kedungpoh namun dengan keberadaan peninggalan petilasan yang ada di Kedungpoh secara otomatis membuktikan bahwa sebelum terbentuknya Desa Kedungpoh sudah ada komunitas masyarakat yang hidup pada waktu itu. Terbukti dengan adanya peninggalan (petilasan pesarehan kwasen).
Namun ada cerita lagi bahwa ketika terjadi huru-hara di Keraton Surakarta ada sekelompok masyarakat wilayah Tembayat (sekarang Bayat) yang datang ke wolauah Kedungpoh yang dipimpin oleh Kyai Ahmad Dalem dan menetap di suatu wilayah yang sekarang namanya padukuhan Kedungpoh Kidul. Pada waktu itu Kyai Ahmad Dalem berprofesi sebagai Empu (pembuat pusaka). Bekas dari tempat tersebut berada di RT 02/01 Kedungpoh Kidul. Ahmad Dalem mempunyai putra yang bernama Jumput alias Ahmad Rifa’i. Sedangkan Ahmad Rifa’i mempunyai teman seperjuangan yang bermana Ahmad Kiramu yang merupakan seorang pelarian karena menentang pemerintahan kolonial Hindia Belanda dari wilayah Gunungkidul bagian selatan. Ahmad Kiramu inilah yang sering disebut masyarakat sekarang sebagai penyebar agama islam di Kedungpoh pada khususnya dan wilayah Kecamatan Nglipar pada umumnya.

Air merupakan sember kehidupan masyarakat. Cara memperoleh air pada waktu itu dengan cara alami dan tradisional. Belum ada sumur apalagi ada Pam seperti sekarang ini. Masyarakat hanya memanfaatkan sumber mata air yang ada. Salah satunya adalah genangan air (kedung) yang terletak di Kedungpoh Kidul. Di samping Kedung tersebut ada sebuah pohon Poh (Pelem). Dari pola kehidupan waktu itu, masyarakat sering menyebut daerah tersebut dengan sebutan Kedungpoh. Karena banyaknya warga yang memanfaatkan air tersebut, lambat laun nama Kedungpoh menjadi nama Desa Kedungpoh hingga saat ini.

Desa Kedungpoh merupakan bagian dari Kabupaten Gunungkidul, secara otonomi adalah Desa yang berpemerintahan sejak tahun 1911. Wilayah Kedungpoh merupakan bagian dari Kademangan Kedungkeris (menurut cerita/kesaksian para sesepuh Desa). Pada masa kolonial Hindia Belanda, kerajaan Mataram  Ngayogyakarta Hadiningrat mempunyai bagian wilayah yaitu Katumenggungan Gunungkidul. Katumenggungan Gunungkidul kemudian membentuk Desa-desa yang salah satunya adalah Desa Kedungpoh. Hal ini diperkuat oleh para pelaku sejarah bahwa Beslit/SK/Serat Kekancingan Lurah yang pertama pada tahun tersebut (1911) yakni Eyang Lurah Karto Rejo yang merupakan pemimpin pertama Desa Kedungpoh.
Cerita tersebut menjadi bahan kajian oleh masyarakat, tokoh, dan Pemerintahan Desa dalam menggali sejarah berdirinya (adeking) Desa Kedungpoh.
Masyarakat Desa Kedungpoh sudah ada sebelum adanya Beslit/SK/Serat Kekancingan Lurah, terbukti dengan sejarah berupa petilasan-petilasan dan nama kampung yang ada di Desa Kedungpoh, seperti petilasan: Pasareyan Kwasen, Kampung Tambran, Kampung Nanasan, Kampung Dawung, Alas Parangan, Kampung Ringin Putih, Kampung Penthuk, Alas Cering, Sungai Kedung Gender, Grumung Gojo, dan sebagainya.
Sehingga ada pertimbangan dari beberapa tokoh bahwa Desa Kedungpoh ada sejak adanya pemerintahan Desa pada tahun 1911.
Sumber (pembuktian) tentang pemerintahan Desa Kedungpoh pada tahun 1911 belum bisa menemukan secara Deyure keberadaan SK tersebut, tetapi secara Defacto telah banyak kesaksian. Dan pembenaran dari tokoh tetua Desa Kedungpoh, yang secara formal Pemerintah Desa Kedungpoh telah menggali sejarah secara langsung dengan melalui investigasi dalam agenda forum penggalian sejarah Desa Kedungpoh pada Januari 2008. Tokoh-tokoh yang jadir sebagai Nara Sumber dalam agenda tersebut, antara lain: Pawiro Wigno (mantan Dukuh Kedungpoh Lor), Slamet Purwo Diwarno (mantan Dukuh Nglorog), Sukino (mantan Dukuh), Noto Wiyono (mantan Dukuh), Ngatmo Nado (tokoh tetua desa), Muhadi (mantan abdi Lurah Karto Rejo), Ibu Samirah(istri mantan pamong desa), Doto (tokoh desa). Kegiatan ini difasilitasi dan inisiatif dari pemerintah Desa Kedungpoh pada waktu itu dipimpin oleh Edi Susilo sebagai Kepala Desa, dibantu oleh Joko Santoso sebagai sekretaris desa, dan Mugiharto sebagai Ekobang Desa Kedungpoh yang berperan sebagai notulis dalam forum tersebut.