Kamis, 17 April 2014

cerpen

Sekeping Harapan di Senja Kala
Santi Wahyu Pamungkas

Semua berawal dari sebuah kebiasaan. Semua berjalan tanpa kusadari. Mungkin itu sebuah perasaan yang tidak tiba-tiba muncul dari dalam hatiku. Gemuruh yang bergejolak, membuatku tidak sadarkan diri. Semua yang jauh pun terasa dekat. Semua seperti mimpi buruk yang hanya ku alami sendiri. Dia adalah laki-laki pertama yang kukenal. Dia mengajarkan berbagai hal untuk hidupku. Benih-benih asmara itu muncul kemudian berujung pada ketidak pastian. Mungkin itu perasan yang muncul dan tenggelam. Hanya Tuhan dan aku yang menyadari segala gejolak ini. Biarkan semua itu mengembara dan berlarian terus menerus di dalam hatiku.
Semua terjadi ketika aku duduk dibangku SMA. Dia adalah seseorang yang kukenal. Dia muncul di permukaan ceritaku. Dia mengenalkan aku tentang lima huruf yang saat itu tidak kuketahui maksudnya, yaitu “cinta”. Kami menuai segala kisah yang begitu sulit untuk dimengerti. Selayaknya remaja yang lain, aku merasakan sebuah getaran yang aneh yang datang dan terus menari-nari di balik gemuruh jiwaku. Mungkin ini seperti cinta yang sama sekali tidak bermakna. Aku merasakan bahwa diriku teramat tergoda dengan senyuman manisnya yang sering dia lontarkan kepadaku. Aku tidak perah menyangka jika semua itu akan terjadi. Hanya sebuah senyum kemudian menumbuhkan sejuta pertanyaan. Dia datang tanpa kuduga. Lelaki yang sungguh sulit kumengerti.
Aku terus berusaha mencari tahu semua tentangnya. Dengan berbagai cara. Tapi seakan semua itu terjadi tanpa kusadari. Aku seperti bersolek di depan sebuah kaca yang pecah. Seperti sebuah masa depan tiada pernah kutahu alurnya. Ketika semua berlalu bagaikan angin senja, ku sadari ini adalah sebuah perasaan yang tumbuh dari dalam sanubariku sendiri. Tanpa pernah terbalaskan. Aku menyendiri. Mengenali diriku sendiri saja aku belum bisa, tapi sekarang aku mencoba memberanikan diri untuk sedikit mengenalnya.
Hari-hari ku lalui. Sebuah tantangan baru dalam hidupku. Mengenalnya dan mencintainya. Tapi saat itu aku menyadari bahwa aku sama sekali belum dewasa. Usiaku baru menginjak 17 tahun. Dan itu merupakan usia belia bagiku. Aku tidak ingin jatuh cinta pada orang yang salah. Apalagi untuk pertama kalinya. Mungkin itu adalah sebuah pertimbangan besar bagiku untuk mencoba berhenti mengharapkannya. Setelah ku tepiskan harapanku untuk dapat mengenalnya lebih jauh, tiba-tiba Tuhan memunculkan dia kembali di permukaan ceritaku. Aku tidak bisa terus menerus bersembunyi dibalik sebuah getaran yang setiap saat meruntuhkan kepercayaanku. Berulangkali ku coba untuk terus melupakan dia. Dia hanya kuanggap sebagai penyemangat belajarku. Aku mencoba untuk tidak mengharapkan lebih dari dirinya.
Dan itu tidak seratus persen berhasil. Walaupun sekarang aku tidak lagi bersamanya, aku tidak lagi belajar bersamanya dalam atap yang sama, aku tetap tidak bisa melupakan segala kebaikannya. Melupakan senyumnya yang teramat manis dan memikat. Di perguruan tinggi ini selain aku belajar tentang berbagai ilmu pendidikan aku belajar pula tentang diri seorang pria. Aku mencoba untuk tidak mengharapkannya lagi. Dan benar. Tuhan memperkenalkan aku dengan seorang pria yang sangat baik kepadaku. Dia adalah orang pertama yang berhasil singgah di dalam hatiku. Darinya pula aku belajar tentang berbagai hal dari orang lain. Dia pula yang mengajarkan aku tentang makna hidupku.
Semua berjalan baik-baik saja. Dia tidak pernah mengatakan hal buruk padaku. Dia selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk diriku. Aku pun mencoba sekuat-kuatnya untuk tetap bersamanya, menjaga dia dan mencintai dia. Aku terus belajar untuk melupakan orang pertama yang pernah belajar bersamaku di tempat yang sama yang aku pernah menaruh perasaan padanya walaupun itu tidak pernah terbalaskan sedikitpun. Dan sekarang aku menemukan orang yang semoga saja sama dengan dirinya walaupun dari wajah yang berbeda.
Waktu terus berjalan, hubungan kami mulus tanpa ada berbagai hal yang merintangi hubungan ini. Orang tua dan sanak family pun setuju dengan hubungan ini. Aku mengerti bahwa ujung dari perjalanan ini adalah tidak akan berhenti di sebuah pelaminan saja. Tapi berjalan terus sampai kami tua dan meninggal. Itu harapan terbesar kami berdua. Namun waktu tidak bisa kami ramalkan. Semua dapat berubah dan hilang begitu saja. Karang yang kokohpun bisa terkikis jika terus menerus terhempas ombak. Mungkin itu tidak jauh dengan kesetiaan.
Semua kembali terjadi ketika sebuah pameran menyuguhkan berbagai atraksinya yang sedang kami nikmati bersama teman-teman kami. Pameran benda kuno atau apalah, aku tidak begitu mengerti. Aku hanya menikmati hidangan yang disuguhkan di sana dengan harga yang pas untuk kantong seorang mahasiswa. Di sana, aku menemukan benda yang unik. Benda yang dapat berbicara dan memberikan hiburan yang sangat berkesan untukku. Ku pahami betul-betul wajahnya. Seorang lelaki yang pandai melawak. Pikiranku melayang kembali. Aku seperti menemukan sebuah arca yang benar-benar hidup. Dan dia mampu menghibur ratusaan orang yang berada di ruangan itu. Aku diam saja. Ku nikmati pentas itu. walaupun aku sedikit bingung, itu acara pameran apa?
Ketika kami sedang menikmati santapan kami, sepasang mata tajam menatap kearah kami. Sepasang mata itu benar-benar ku kenal. Tapi aku tidak berani untuk menyapa ataupun memamerkan senyumku padanya. Aku takut dugaanku salah.
Dan ketika kami bersiap-siap untuk pulang, sepasang mata tadi terus menerus menatapku. Dia seakan mencoba mengigat wajahku yang mungkin pernah ia kenal. Aku mencoba untuk memberanikan diri mendekati orang itu, tapi sebuah tangan meraih jemariku dan mengajakku keluar untuk pulang. Aku bersama teman-temanku berjalan pulang. Namun, sebelum kakiku melangkah keluar dari pintu, ada sebuah perasaan timbul yang membuatku memberanikan diri untuk menolak tarikan di tanganku. Aku mendekati orang itu. Dia menyuguhkan senyum yang benar-benar anggun. Oh, Tuhan. Itu senyum yang hilang beberapa waktu lalu yang pernah ku kagumi. Tanganku dingin bukan main. Bibirku pun bergetar menyapanya. Rupanya dia tidak lupa siapa aku. Dia menjabat tanganku. Aku membalasnya. Kami terbawa dalam sebuah pembicaraan yang entahlah, tiba-tiba aku seakan kembali ke masa ketika aku masih duduk di bangku SMA.
Kami tidak jadi pulang. Kami asyik mengobrol dengan pria yang ku dambakan dulu. Dan semua berubah ketika ku lihat raut wajah pria yang sekarang telah bersamaku. Aku agak sedikit canggung, terlebih aku berada di antara dua pria yang aku cintai dan mencintaiku. Tapi aku menepis jauh-jauh angan untuk mencintai pria yang sejak SMA ku kagumi itu. Sekarang aku tidak sendiri.
Pertemuan itu berjalan singkat. Setelah pertemuan itu, aku tidak tahu lagi kabar tentang dirinya. Kami tidak sempat bertukar nomor telepon atau berbagai alamat yang dapat dihubungi. Dan setelah aku selesai menamatkan sekolahku di perguruan tinggi, aku memutuskan untuk bekerja di sebuah perusahaan di sekitar tempat tinggalku. Baru beberapa waktu aku bekerja, menerima gaji yang kuperoleh dari kerja kerasku setiap hari, rupanya Tuhan menuliskan dalam hidupku sesuatu yang baru. Tuhan semakin mempererat hubunganku dengan kekasihku. Beberapa waktu lagi pertunangan kami akan dilaksanakan.
Namun, lagi-lagi aku tidak bisa dengan mudah menyikapi hal-hal itu. Usiaku yang baru akan menginjak 23 tahun membuatku merasa telalu cepat masa mudaku akan hilang. Aku meminta untuk menunda pertunangan itu hingga beberapa tahun kedepan. Aku ingin membaktikan segala yang kupunya sekarang untuk orang tuaku dahulu. Hal itulah yang mungkin membuat hubungan kami semakin terasa jauh. Kami tidak lagi seperti yang dulu. Mungkin dia mulai bosan denganku yang sering tidak sependapat dengannya. Dia pun semakin jauh dari aku. Semenjak dia tahu akan pertemuanku dengan pria yang pernah ku dambakan waktu SMA itu, sikapnya semakin berubah. Terlebih ketika aku meminta untuk menunda pertunangan kami. Mungkin dia curiga dengan sikapku. Aku pun bersikap demikian. Mungkin saat itu aku merasa bosan dengannya. Dengan seorang pria yang setiap hari menyuguhkan berbagai cerita di hari-hariku.
Dan semuanya benar-benar terjadi. Hubungan kami yang sudah berjalan lima tahun akhirnya kandas dalam sebuah keraguan. Sedikit demi sedikit kami saling acuh dan kemudian kami memutuskan untuk tidak berhubungan lagi. Saat itulah aku baru merasakan semuanya. Sakit yang kedua kalinya. Awalnya aku merasa bahwa diriku tidak lagi selemah seperti ketika usiaku 17 tahun, tapi ternyata semua itu salah. Ketika aku kehilangan seorang pria yang pernah mengisi hari-hariku selama lima tahun itu, hatiku merasa semakin lemah. Akankah besok aku mendapatkan pria yang sama seperti mereka?
Sekarang aku semakin dewasa. Aku terus memfokuskan diriku dengan pekerjaanku, dan itu benar-benar berhasil membuatku melupakan segala tentang orang lain yang pernah kucintai. Dari pekerjaanku sekarang, aku berhasil membaktikan apa yang kupunya untuk orang tuaku. Di satu sisi aku sangat bangga. Tapi setelah kusadari usiaku yang kian hari kian bertambah membuatku merasa takut. Sesuatu yang kutakutkan itu mungkin seorang jodoh yang harusnya telah kusiapkan untuk mengisi hari-hariku nanti sampai aku tua dan mati. Tapi sosok pria yang seperti kemarin tidak lagi pernah kudapati. Pria yang lusa pernah bersamaku pun kini sudah tidak lagi sendiri. Dia sudah membangun istana kebahagiaan bersama perempuan yang lain. Aku mencoba belajar kembali. Aku hanya dapat berharap kepada Tuhan agar nanti aku diberikan jodoh yang terbaik.
Kini usiaku telah beranjak ke angka 26 tahun. Takutku mulai mengembara. Wajahku yang dulu penuh dengan tugas-tugas sekolah yang begitu mudah untuk ku kerjakan kini berubah menjadi wajah yang penuh rasa takut menghadapi waktu yang terus menuntunku. Tapi Tuhan itu maha adil. Tuhan mengerti semua yang aku pikirkan. Tuhan tidak pernah tidur ataupun melupakan aku. Tuhan mempertemukan aku dengan seorang pria yang tidak tampan, tidak begitu menarik bagi orang lain, tapi dia begitu istimewa untukku. Pria beralis tebal dengan senyuman manis dibibirnya. Itulah yang telah Tuhan persiapkan untukku. Lelaki pertama yang singgah di lubuk sanubariku yang paling dalam. Dan dia adalah yang terakhir pula untukku. Kisahku seperti dongeng yang penuh khayalan, tapi ini memanga benar-benar terjadi dan aku rasakan dalam diriku. Aku tidak pernah menyangka jika semua itu akan terjadi.
Semua berawal dari rasa kagum, memuncak menjadi rasa cinta dan kokoh menjadi kasih sayang. Itulah yang kualami dalam hidupku. Terima kasih Tuhan telah menyatukan aku dengan dia yang pernah ku rindukan sepanjang perjalananku ini.

♥☺☺♥

Tidak ada komentar:

Posting Komentar