Senin, 25 Maret 2013

cerpen

MEGA DI ATAS AWAN
Malam begitu sunyi. Hanya suara deru angin menemani derasnya hujan yang turun. Suasana di luar tampak kemilau dengan kilauan guntur yang terus bergemuruh di tengah malam gulita. Seperti ada yang tak biasa malam ini. Tak satupun terdengar suara kendaraan berlalulalang. Hal yang seakan belum pernah di rasakan sebelumnya. Malam ini ada yang ganjil di benakku. Seperti takut untuk memandang malam sendirian. Kusadari, sebercak sinar kecil berhenti di atas buku yang baru saja selesai ku baca. Kunang-kunang kecil yang lucu. Warna kuning kecil sebagai pertanda bahwa ia muncul kembali.
Aku terdiam sambil terus memandangi kunang-kunang kecil di atas buku. Tak kuasa berdiam sendiri menati hal yang tidak mungkin ku nanti sendiri. Mataku terasa berat untuk terus terbuka. Waktu itu pukul 22.45, dan aku sedikitpun belum mau beranjak untuk tidur walau matakupun telah redup. Kupandangi lagit kamarku yang penuh dengan warna kesucian itu. Sejenak aku membaringkan tubuhku pada ranjang yang ada di bagian ujung kamarku itu. Dalam sekejap aku terpejam dan kantukpun datang.
Baru saja aku terlelap, pintu kamarku di ketuk dari luar. Aku regagap dan bangun. Sambil merapihkan rambutku, aku bernjak menuju bibir pintu. Ku dengar suara ibu memanggil namaku.
“Raya! Bangun sebentar, nak,”kata ibu dari luar.
Aku segera membuka daun pintu. Kulihat ada sebercak bekas air mata di pipi ibu yang mulai keriput karena faktor usia. Aku bertanya-tanya dalam hati.
“ada apa ibu memanggilku malam-malam begini? Sepertinya ibu habis menangis?” tanyaku pada ibu.
Ibu diam tidak menjawab. Bahkan yang membuatku semakin tidak mengerti yaitu ketika ibu kembali menjatuhkan air matanya. Ada perasaan panik di fikiranku.
“ibu kenapa? Mengapa ibu menagis? Katakan pada Raya, apa yang terjadi, Bu!” pintaku pada ibu.
Ibu masih diam. Aku menjadi semakin bingung. Sebentar kemudian aku mendengar ibu menyebutkan nama Mas Jhon dengan nada suara yang begitu rendah dan aku hampir tidak mendengarnya. Dalam hatiku bertanya-tanya.
“ada apa dengan Mas Jhon, Bu? Mengapa Ibu menagis?” tanyaku kemudian.
“Jhon..... Jhon.... Jhon kecelakaan, Raya.” Pekik ibu.
Seketika tubuhku lemas dan tak lama kemudian gelap menyelimuti mataku.
Pagi hari ini kurasakan tiada kesejukkan di rona mataku. Sejak aku sadar dari pingsanku semalam, aku terus menangis. Seperinya hujan semalam bertanda buruk untukku. Kini akupun merasakan hal yang sama sekali menyedihkan. Ada yang kurang dari kekuatanku jika Mas Jhon tiada di dekatku. Dia adalah orang yang telah menjagaku selama 4 tahun terakhir ini. Kini kami sama-sama tergeletak di rumah sakit yang berbeda.
Sebanarnya hari senin esok adalah hari bahagiaku bersama Mas Jhon. Tapi kecelakaan semalam agaknya akan mengganggu hari indah kita nanti.
Aku ingin beranjak bangun dan menemui Mas Jhon. Tapi tubuhku belum sehat betul. Aku hanya menangis sendiri di atas tempat tidur itu. Ibu tertidur di sampingku dengan wajah yang tanpa kebahagiaan. Aku merasa ada yang kurang dengan keluargaku. Di mana Mahesa? Sejak sore kemarin  rasannya aku tidak melihatnya. Apakah dia main kerumah temannya hingga larut malam dan tidak kunjung pulang? Apakah ia tidak tahu sekarang aku sedang tergelatak di rumah sakit? Fikiranku jadi tidak menetu. Entah memikirkan Mas Jhon ataupun Mahesa.
Ibu masih terlelap di sampingku. Aku kasihan melihat wajahnya yang kian lama kian murung. Setelah di tinggal ayah, ibu tampak tertekan dengan hadirnya hari-hari baru di hidupnya.
Sekarang hal yang tak kami inginkan datang kembali. Aku benar-benar tidak mengerti apa maunya hidup ini. Kadang jika aku sedang bahagia, segalanya terasa singkat. Berbeda seperti hari ini. Waktu terasa lama untuk berputar.
Ada yang bergerak di sisiku. Ibu rupanya telah bangun dari tidurnya yang sama sekali tidak pulas. Ada bekas tangis yang sangat mendalam di wajahnya. Mungkin karena ada rasa sesal di dalam hatinya tentang kejadian semalam. Ibu menyerka wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Kuberikan senyum istimewaku walau senyum ini tidak pernah ku rencanakan. Beliau membalas senyuman yang baru saja lenyap dari bibirku. Teramat pahit bagikku.
“sayang, bagaimana? Apakah masih pusing?” tanya ibu padaku,
“sudah agak berkurang, Bu. Aku ingin cepat pulang.” Pintaku pada ibu.
“biarkan hilang dahulu sakitnya, baru nanti kita pulang.” Kata ibu.
“baik, Bu. Aku mengerti”
“ibu tahu, kamu pasti mengkhawatirkan keadaan Jhon. Tapi, kamu juga harus memperhatikan kondisi tubuhmu. Ibu tahu kamu sangat menyayangi Jhon.”
“ibu...jangan buat aku jadi memikirkan yang tidak-tidak. Aku akan semakin khawatir jika ibu berkata begitu.”
“maafkan ibu, Raya.”
Aku hanya mengangguk pelan sambil terus memandangi dinding tembok yang begitu kokoh berdiri di hadapan ku. Ku geser sedikit tempatku berbaring agar nyaman.
“ibu, sejak sore kemarin aku tidak melihat Mahesa di rumah. Kemana dia?” tanyaku pada ibu.
“kemarin ia pamit mau belajar di rumah temannya. Katanya mau lembur tugas sekolah yang belum selesai. Nanti juga ia pulang.” Kata ibu padaku.
“apakah ia tidak tahu aku berada di sini sekarang? Ibu belum memberikan kabar padanya?”
“ibu sudah mencoba menelponnya. Tapi handphonnya tidak aktif.”
“ibu tidak khawatir dengan Mahesa? Dia anak perempuan! Kalau sampai terjadi apa-apa dengan dia bagaimana, Bu? Mengapa ibu ijinkan ia keluar malam-malam begitu?”
“Raya, tenagkan fikiranmu. Ibu percaya Mahesa dapat menjaga diri dengan baik. Dia sudah besar, tentunya ia dapat berfikir untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.”
“huh...........ibu terlalu percaya pada kedewasaan orang. Belum tentu Mahesa mengerti ini dan itu yang benar dan yang salah.”
“sudahlah, kau harus beristirahat. Bukan untuk marah-marah begitu pada ibu!”
Aku terdiam sejurus. Ada perasaan kecewa terhadap pendapat ibu yang baru saja.
**********
Tubuhku sudah agak baik dari hari kemarin. Sekarang aku berada di rumah setelah dua hari tergeletak di rumah sakit. Mahesa telah pulang sore kemarin. Tidak ada sedikitpun perasaan yang muncul dari raut wajahnya yang sudah tampak dewasa. Bahkan megetahui aku sakitpun ia seperti acuh dan tidak mau mengerti keaadaanku sekarang.Begitukah jika orang sudah terbiasa dengan dunianya sendiri.
Hari ini aku menjenguk Mas Jhon di rumah sakit. Tapi ternyata Mas Jhon sudah dibawa pulang ke rumah. Berarti kondisinya sudah membaik.
Aku dan ibu menjenguk Mas Jhon di rumahnya. Kubawakan masakan yang ia sukai, semoga dengan itu ia benar-benar sembuh. Perjalananku agak lama, karena kami harus mengunggu taxi untuk dapat sampai di rumah Mas Jhon. Sepanjang perjalanan, aku dan ibu saling bercakap-cakap. Kadang menceritakan masa indah yang esok akan ku lalui bersama Mas Jhon, kadang pula menceritakan Mahesa yang menjadi acuh dengan aku dan ibu.
Hari ini agaknya aku benar-benar akan bertemu dengan Mas Jhon. Kadang muncul kebahagiaan di hati ini, tapi agaknya kesedihanku tiba-tiba muncul di setiap sela-sela tatapan mata ini. Entahlah, mengapa begini?
Kakiku telah menginjak halaman rumah Mas Jhon. Ada perasaan tidak menentu bergemuruh di benakku. Apa yang akan aku ucapkan nanti ketika aku bertemu dengan Mas Jhon? Aku kehilangan kata-kata yang telah kurangkai semalaman. Kakiku terasa berat untuk melangkah menuju bibir pintu. Terlebih perasaanku yang semakin tidak karuan membuatku enggan untuk memasuki rumah mewah itu.
“Raya, ayo! Kenapa hanya diam di situ? Cepat!” pinta ibu padaku.
Aku tersentak mendengar ucapan ibu yang seperti baru saja aku dengarkan.
Akhirnya, didorong oleh sekumpulan keberanianku, aku mulai menggerakkan bibirku yang menjadi berat untuk mengucapkan kata-kata.
“asalamualaikum”
Tidak ada sahutan dari dalam rumah. Pintu sudah terbuka sejak tadi, tapi rumah tampak sepi. Kuberanikan kembali menyapa. Kali ini aku mendengar sahutan dari dalam rumah. Suara itu sangata aku kenal. Itu pasti suara tante  Mirna.
“Raya, Bu Desi. Mari silakan masuk.” Sapa tante Mirna.
“terimakasih,” jawab ibu.
“duduk dulu, saya ambilkan minum sebentar,ya.”
Tante Mirna berlalu ke dapur. Aku dan ibu hanya berpandangan lalu terdiam bersama-sama. Ku pandangi dinding-dinding rumah itu. Sama sekali belum berubah. Ada lukisan lelaki yang tengah duduk di bawah pohon yang rindang, lukisan itulah yang dahulu ku hadiahkan untuk ulang tahun Mas Jhon yang ke 28 tahun.
Tante Mirna muncul dengan membawa tiga gelas berisi minuman. Kemudian duduk di depan sebelah kanan ibu.
“maaf, Bu. Kami baru bisa menjenguk Jhon sekarang. Dua hari kemarin Raya berada di rumah sakit, jadi kami baru sempat menjenguk sekarang.” Kata ibu.
“tidak apa-apa. Raya sakit apa?”
“biasa. Sakit yang kadang datang. Waktu saya beritahu tentang Jhon, tiba-tiba dia tidak sadarkan diri.”
“tapi sudah sembuh sekarang, Raya?”
“alhamdulillah, Tante. Bagaiman keadaan Mas Jhon? Sudah baik, Tante?” tanyaku.
“begitulah, Raya. Lukanya tidak terlalu parah untungnya.” Jawah Tante Mirna dengan raut wajah yang kurang cerah.
“oh....bolehkah saya bertemu Mas Jhon, Tante?” kataku yang mulai kehilangan kata-kata.
“boleh. Biar Tante panggil ke sini saja dia.” Kata tante Mirna sambil beranjak dari duduknya.
Aku merapihkan jilbabku. Kutata perasaanku untuk bertemu orang yang aku kenal sejak 4 tahun silam.
Tidak lama, ku lihat Mas Jhon berjalan sambil menyeret kakinya. Aku beranjak untuk membantunya berjalan, tapi entah mengapa tiba-tiba Mas Jhon memberi isyarat padaku untuk tidak beranjak dari tempat dudukku. Aku tertegun? Hatiku bertanya-tanya. Apa yang terjadi? Mengapa Mas Jhon lain dari hari biasanya? Apa dia marah padaku karena aku baru bisa menjenguknya sekarang? Fikiranku terasa penuh dengan tanda tanya. Apakah ini namanya fikiran yang tengah gundah?
Mataku berkaca-kaca. Hampir saja air mata ini menetes, tapi buru-buru ku tundukkan kepalaku agar Mas Jhon tidak mengetahuinya.
“Selamat siang tante,” sapa Mas Jhon pada ibu sambil duduk di dekat tante Mirna.
“siang, Jhon? Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah lebih baik bukan? Maaf tante dan Raya baru bisa menjenguk sekarang.” Kata ibu pada Mas Jhon.
“alhamdulillah, Tante. Sudah lebih baik. Tidak apa-apa. Saya tahu.” Jawab Mas Jhon.
Aku tertunduk diam membisu. Entah perasaan apa ini namanya. Ingin rasanya cepat pulang agar aku dapat kembali menata perasaanku ini. Aku seakan tidak menyadari bahwa sejak tadi Mas Jhon menatap wajahku yang terus tertunduk.
“Raya, kenapa hanya diam saja? Bicara sama Jhon.” Kata ibu padaku yang masih tertunduk.
“oh....” aku tergagap dan Mas Jhon melemparkan senyum di bibirnya yang sangat aku kagumi.
“iya, dari tadi diam saja. Apa yang sedang di pikirkan?” goda Mas Jhon.
“tidak! Tidak ada apa-apa kok.”
“huh....sebenarnya malam yang lalu saya mau ke rumah tante. Tapi, sepertinya Tuhan mengabarkan hal yang tidak saya duga kepada diri saya malam itu.” Cerita Mas Jhon.
“sudahlah, Jhon.” Tukas tante Mirna.
Kami terdiam beberapa saat. Kami kehilangan ucapan untuk bercakap-cakap. Telebih aku.
“yang penting sekarang keadaanmu sudah lebih baik, Jhon. Kamu perlu istirahat untuk memulihkan kesehatanmu itu,” kata ibu.
“iya, tante.” Mas Jhon menghela napas dalam-dalam. Lalu di teruskan ucapannya, “sebenarnya, akh..... saya bingung mau bicara dari mana, tante. Kalau saya tidak bicarapun mungkin tante dan Raya sudah tahu sendiri.”
“Jhon!” geram tante Mirna.
“entahlah. Huh......” tukaasnya.
Aku menatap wajah tante Mirna berubah. Matanya berkaca-kaca dan bibirnya bergetar. Sebentar kemudian aku melihat ada tetesan air mata jatuh di pangkuan tante Mirna. Aku dan ibu diam. Sebenarnya apa yang terjadi? Lalu, ku lihat tante Mirna menyerka air mata itu di pipinya.
“apa yang terjadi? Mengapa Ibu tiba-tiba menagis?” tanya ibu pada tante Mirna.
“tidak....tidak apa-apa. Hanya badan saya kurang enak.” Jawab tante Mirna.
“tante, sebenarnya ada satu hal yang akan saya sampaikan kepada tante dan Raya. Sulit sebenarnya. Darimana saya memulainya.” Kata Mas Jhon.
“apa itu, Mas?” tanyaku kemudian.
“kita semua harus kuat hati. Ini bukan hal mudah yang akan ku sampaikan. Tante, sebenarnya ini bukan keinginan saya ataupun mama. Huh.... kalau ini hanya mimpi mungkin saya akan segera bangun dan menemui Raya. Tapi ini adalah kenyataan yang harus kami hadapi besama-sama....” kata-kata Mas Jhon terhenti sejenak.
“sungguh, demi apapun saya sangat mencintai Raya. Tapi, agaknya Tuhan menuliskan yang lain untuk saya dan Raya. Tante, saya sebenarnya tidak mau menggagalkan pernikahan saya dengan Raya. Tapi....”
“Mas Jhon!” pekikku seketika.
Ada sebercak air mata meleleh di pipiku. Pertanda apakah ini? Mengapa ucapan itu muncul dari mulut Mas Jhon? Itu adalah kata-kata yang tidak pernah aku harapkan muncul dalam hidupku. Tuhan!
“kenapa Mas?” tanyaku sambil berurai air mata.
“Raya....”
“Mas, aku tidak pernah mengharap seperti ini! Mana janjimu Mas? Lupakah pada hal itu? Tolong jangan ucapkan itu Mas!” tegasku sambil terus menagis.
Ibu mendekapku. Seperti kusadari, aku, tante Mirna, dan ibu menagis. Hanya Mas Jhon yang tampak tegar.
“aku pun tidak mau mengucapkan ini, Raya. Tapi, karena aku menyadari bahwa memang begini keadaannya. Aku dan kamu bersatu bukan sebagai sepasang suami istri.”
“lalu apa, Mas? Sebagai apa?”
“sebagai............”
“Jhon!” pekik tante Mirna.
~~~~~





Oleh:
Santi Wahyu Pamungkas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar